ini cerita dari milis tetangga.. aku suka isinya 😀
Posted by: “Khoirul Ma’arif”
Thu Aug 11, 2008 10:06 pm (PDT)
———— ——— ——— —
Kisah Nyata: Aku Datang Maisya
Aku telah dilanda keinginan mengebu untuk menikah. Bahkan sudah kujalani
semua cara agar cepat bisa melaksanakan sunah Rasul yang satu ini. Malah
aku selalu mengimpikannya di tiap malam menjelang tidur.
Gadis yang kuidamkan sejak kecil, bahkan menjadi teman main bersama,
ternyata dinikahi orang lain. Sedih juga
rasanya. Ada juga yang aku dapatkan dari orang yang aku kenal baik, dan
sudah kujalani “prosedurnya” . Tapi ternyata kandas karena aku dinilai
masih terlalu muda untuk menikah.
Akhirnya , aku kenal dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria. Aku
mengenalnya dengan perantaraan teman dekatku. Jujur saja, aku telah
mendapat biodatanya, juga gambaran wajahnya. Langsung saja kukatakan
pada teman dekatku bahwa aku sangat-sangat setuju.
“Eh, ente (kamu) harus ketemu dulu dan tahu dengan baik siapa dia,” kata
temanku.
Tapi kujawab enteng, “Tapi ane (aku) langsung sreg kok”.
“Ya sudah, terserah ente aja lah,” sahut temanku sambil geleng-geleng
kepala.
Karena aku yakin pacaran jelas-jelas dilarang dalam Islam sebab hal itu
adalah jalan menuju zina, aku pun tak menjalaninya. Jangankan zina,
hal-hal yang akan mengarahkan kepadanya saja sudah dilarang. Oleh karena
itu, aku hanya menunggu waktu kapan ada pembicaraan awal antara aku dan
Maisya (akhwat incaranku itu). Sabar deh, sementara ikuti saja seperti
air mengalir.
Lewat kurang lebih 2-3 minggu mulailah terjadi pembicaraan antar aku dan
Maisya. Ketika kuberanikan diri memulai pada poin yang penting yaitu
mengungkapkan niatku untuk menikahinya, apa jawabnya? Aku disuruh
menghadap murabbinya (guru/pembimbing) .
“Kenapa tidak ke orang tua Maisya saja?” tanyaku.
“Tidak, pokoknya akhi (saudara lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi
saya.” jawabnya.
Aku baru tahu, ada seorang akhwat ketika ada yang ingin menikahinya
disuruh menghadap Murabbinya, bukan orang tuanya. Padahal, di antara
birrul walidain adalah menjadikan orang tua sebagai orang yang pertama
kali diajak diskusi tentang pernikahan, bukan gurunya, ustadznya, atau
siapa pun. Barulah kutahu itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat tarbiyah
(pergerakan) .
***
Aku catat alamat murabbi (MR) yang Maisya sebutkan. Pada hari Ahad
kuajak 2 teman dekatku untuk menemani ke rumah sang MR. Dengan sedikit
kesasar akhirnya sampailah kami di rumahnya. Tapi setelah pencet tombol
tiga kali dan “Assalamu’alaikum” tiga kali tak dibuka, kami pun pulang
dengan agak kecewa, sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari sangat
terik menyengat.
Kutelepon Maisya bahwa aku tak bisa ketemu MR-nya. Maisya membolehkanku
hanya dengan menelepon MR. Malam itu juga aku pun menelepon dan
alhamdulillah nyambung. Aku ditanya segala macam yang berkaitan dengan
agama. Dari masalah belajar, kerja, ngaji, tarbiyah, murabbi-ku, ustadz
yang sering kuikuti kajiannya, sampai buku-buku yang sering kubaca.
Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya.
Dengan polos dan santai kujawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang
membuatku heran, ketika kusebutkan nama ustadz-ustadz yang sering
kuikuti kajiannya sampai, nada MR agak beda dari awal pembicaraan.
Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang sering kujadikan rujukan
dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa bisa begitu.
Kuceritakan pembicaraan itu pada teman dekatku. Ternyata temanku
menjawab dengan nada menyesal.
“Aduh, kenapa tidak bicarakan dulu denganku. Ente tahu? Kalau akan
menikahi akhwat tarbiyah, sedang ente tidak ikut dalam tarbiyah atau
liqa’ tertentu dan ga’ punya MR, maka ente otomais akan ditolak. Apalagi
ente sebutkan nama-nama ustadz, buku-buku dan para syeikh Timur Tengah,
bakalan ditolak deh, itu sudah ma’ruf (populer).”
“Lho kan ane jawab jujur, saat ini ane tidak ikut tarbiyah, atau apa
namanya tadi, liqa’? Ya memang aku tak ikut. Ane juga nggak punya MR
dong. Oo.., jadi begitu ya?” aku hanya melongo.
***
Beberapa hari kemudian, aku dapat telpon dari Maisya yang menjadikan
hatiku sedikit hancur.
“Assalamu’alaikum, akhi saya sudah mempertimbangkan semuanya, mungkin
Allah belum menakdirkan kita berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan
yang terbaik untuk pasangan kita, saya minta maaf, kalau ada kesalahan
selama ini, Assalamu’alaikum, ”
“Kletuk, nuut nuut nuut” terdengar suara gagang telpon ditutup dan nada
sambung terputus.
Aku masih memegang gagang telepon dan hanya bisa melongo mendapat
jawaban tersebut. Kutaruh gagang telpon dengan lunglai. “Astagfirullah, ”
kusebut kata-kata itu berulang kali. Apa yang harus kuperbuat? Tak tahu
harus bagaimana. Tapi sohib dekatku yang dari tadi memperhatikanku waktu
menelepon nyeletuk .
“Ditolak ya? Udah deh, kan masih banyak harem (wanita) lain, ngapain
ngejar-ngejar yang sudah jelas-jelas nolak.”
Aku jawab saja dengan ketus, “Ane belum nyerah, karena ada yang janggal dalam
pemolakan it, ane belum yakin dia menolak, akan ane coba lagi”.
“Udah deh jangan terlalu PD,” sahut sohibku.
Ternyata bener juga kata temanku itu, jawaban-jawabanku kepada MR
menyebabkan aku ditolak oleh Maisya. Aku dipandang beda manhaj dalam
memahami Islam, padahal yang kusebutkan waktu menjawab pertanyaan
tentang buku-buku rujukan adalah Fathul Majiid, Al-Ushul Al-Tsalatsah,
dan kitab-kitab karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad
Shalih Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka selalu mendasarkan
bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.
Hatiku sudah terlanjur cocok sama Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg
sekali kalau Maisya jadi pendamping hidupku. Tapi aku ditolak. “Apa yang
harus kuperbuat?” kataku dalam hati. Menyerah kemudian mencari yang
lain? Baru begitu saja kok nyerah.
Tanpa sepengetahuan sohibku, kutulis surat ke orangtua Maisya. Yang
kutahu bahwa dia hanya punya ibu. Bapaknya sudah meninggal saat Maisya
berumur 8 tahun. Kutulis surat yang isinya kurang lebih tentang proses
penolakan itu. Juga janjiku jika ditolak oleh ibunya, maka aku akan
menerima dan tak akan menghubunginya lagi.
Dengan penuh harap kukirim surat tersebut, tak disangka ternyata surat
itu sampai di tangan Maisya dan dibacanya. Alamak, kenapa bisa begitu?
Untuk beberapa hari tidak ada respon. Gundah gulana pun datang. Apa yang
harus kulakukan?
Kuputuskan untuk mengirim surat ke Maisya langsung. Semuanya aku
ungkapkan dengan bahasa setengah resmi tapi santai. Aku memang sedikit
ndableg. Di penghujung surat tersebut kukatakan, “Kalau memang Allah
takdirkan kita tidak jodoh, saya punya satu permintaan, tolonglah saya
untuk mendapatkan pendamping dari teman-teman Maisya yang Maisya pandang
pas untuk saya, minimal yang seperti Maisya.”
Kupikir Maisya akan “tersungkur” dengan membaca suratku yang panjang
lebar. Aku berpikir seandainya ada orang membaca suratku, pasti akan
mengatakan “rayuan gombal!”. Tapi jujur saja, itu berangkat dari hatiku
yang paling dalam.
Surat kedua itu, qadarallah ternyata malah diterima dan dibaca oleh ibu
Maisya dan kakak perempuannya. Nah, dari situkah terjadi kontak antara
aku dan keluarganya. Tak disangka-sangka kudapat telpon dari kakak
perempuan Maisya, Kak Dahlia (tentu saja bukan nama asli). Kak Dahlia
menelepon dan memintaku untuk datang ke rumahnya guna klarifikasi surat
tersebut.